Tradisi
Malam Satu Suro
Satu
Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Sura atau Suro di mana
bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender hijriyah, karena Kalender jawa yang
diterbitkan Sultan Agung mengacu penanggalan Hijriyah (Islam). Satu suro
biasanya diperingati pada malam hari setelah magrib pada hari sebelum tangal
satu biasanya disebut malam satu suro, hal ini karena pergantian hari Jawa
dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya.
Tradisi malam satu suro di daerah Repaking Wonosegoro yang pelaksanaannya berbeda dengan dulu. Dua tahun belakangan ini hampir seluruh warga desa Repaking melaksanakan tradisi malam satu suro dengan cara yang berbeda, caranya lebih praktis, berbeda dengan dua tahun yang lalu, tradisi malam suro di peringati oleh seluruh warga dengan sedikit kemewahan, misalnya dengan menyembelih kambing untuk selametan dan upacara dan juga melaksanakan pengajian besar-besaran dimalam satu suro. Dan juga terdapat Tirakatan, tirakat dari kata ‘Thoriqot’ atau Jalan, yang dimaknai sebagai usaha mencari jalan agar dekat dengan Allah. Tirakatan ini digelar setiap malam satu Suro oleh kelompok-kelompok penganut aliran kepercayaan Kejawen yang masih banyak dijumpai di pedesaan. Mereka menyambut datangnya tahun baru Jawa dengan tirakatan atau selamatan. Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan di mana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan.
Tradisi malam satu suro di daerah Repaking Wonosegoro yang pelaksanaannya berbeda dengan dulu. Dua tahun belakangan ini hampir seluruh warga desa Repaking melaksanakan tradisi malam satu suro dengan cara yang berbeda, caranya lebih praktis, berbeda dengan dua tahun yang lalu, tradisi malam suro di peringati oleh seluruh warga dengan sedikit kemewahan, misalnya dengan menyembelih kambing untuk selametan dan upacara dan juga melaksanakan pengajian besar-besaran dimalam satu suro. Dan juga terdapat Tirakatan, tirakat dari kata ‘Thoriqot’ atau Jalan, yang dimaknai sebagai usaha mencari jalan agar dekat dengan Allah. Tirakatan ini digelar setiap malam satu Suro oleh kelompok-kelompok penganut aliran kepercayaan Kejawen yang masih banyak dijumpai di pedesaan. Mereka menyambut datangnya tahun baru Jawa dengan tirakatan atau selamatan. Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan di mana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan.
Saat
ini banyak sekali warga yang menganggap tradisi di malam satu suro itu biasa,
jauh berbeda dengan dulu, banyak warga yang setiap malam satu suro merelakan
tidak tidur dalam bahasa jawa lek-lekkan yang biasanya dilakukan oleh warga-warga
di kampung. Biasanya warga sudah menyiapkan acara masing-masing. Ada yang
sekadar berkumpul dan lek-lekan di pos ronda, mengobrol di depan rumah atau
makan-makan bersama.
Sekarang warga menyambutnya dengan cara yang
biasa yaitu dengan berkumpul diperempatan jalan dan membuat makanan yang
ditaruh di dalam besek kemudian dikumpulkan jadi satu dan di makan
bersama-sama. Dulu banyak sekali antuasias warga yang menyambut malam satu suro
dengan suka cita jauh berbeda dengan saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar