Kamis, 31 Desember 2015

Upacara Sebelum Berlangsungnya Pernikahan

Siraman
Siraman dari asal kata siram ,artinya mandi. Sehari sebelum pernikahan, kedua calon penganten disucikan dengan cara dimandikan yang disebut Upacara Siraman. Calon penganten putri dimandikan dirumah orang tuanya, demikian juga calon mempelai pria juga dimandikan dirumah orang tuanya.
Hal-hal yang perlu dipersiapkan untuk Siraman :
  1. Persiapan tempat untuk siraman, apakah dilakukan dikamar mandi atau dihalaman rumah belakang atau samping.
  2. Daftar orang-orang yang akan  ikut memandikan. Sesuai tradisi selain kedua orang tua temanten, eyang temanten , beberapa pinisepuh .  Yang diundang untuk ikut memandikan  adalah mereka yang sudah sepuh, sebaiknya sudah punya cucu dan punya reputasi kehidupan yang baik.
  3. Sejumlah barang yang diperlukan  seperti : tempat air, gayung, kursi, kembang setaman, kain, handuk, kendi dsb.
  4. Sesaji untuk siraman, ada lebih dari sepuluh macam, diantaranya adalah seekor ayam jago.
  5. Pihak keluarga penganten putri mengirimkankan sebaskom air kepada pihak keluarga penganten pria. Air itu disebut air suci perwitosari artinya sari kehidupan, yaitu air yang dicampur dengan beberapa macam bunga,yang ditaruh dalam wadah yang bagus , untuk dicampurkan  dengan air yang untuk memandikan penganten pria.                                         
  6. Pihak terakhir yang memandikan penganten adalah pemaes, yang menyirami calon penganten dangan air dari sebuah kendi. Ketika kendi telah kosong, pemaes atau seorang pinisepuh yang ditunjuk, membanting kendi dilantai sambil berkata : Wis pecah pamore.artinya calon penganten yang cantik atau gagah sekarang sudah siap untuk kawin.                
  7. Upacara siraman selesai dan calon penganten  dengan memakai kain batik motif grompol dan ditutupi tubuhnya dengan kain batik motif nagasari, dituntun kembali keruang pelaminan.Calon temanten putri akan dikerik oleh pemaes.


Upacara Ngerik

Ngerik
artinya rambut-rambut kecil diwajah calon pengantin wanita dengan hati-hati dikerik oleh pemaes.Rambut penganten putri dikeringkan kemudian diasapi dengan ratus/dupa wangi. Perias mulai merias calon penganten . Wajahnya dirias dan rambutnya digelung  sesuai dengan pola  upacara perkawinan yang telah ditentukan.

Sesudah selesai, penganten didandani dengan kebaya yang bagus yang telah disiapkan dan  kain batik motif sidomukti dan sidoasih, melambangkan dia akan hidup makmur dan dihormati oleh sesama.

Malam itu, ayah dan ibu calon mempelai putri memberikan suapan terakhir kepada putrinya, karena mulai besok, dia sudah berada dibawah tanggung jawab suaminya.

Sesaji untuk ngerik sama dengan sesaji siraman. Jadi untuk praktisnya, seluruh sesaji siraman dibawa masuk kekamar pelaminan dan menjadi sesaji untuk ngerik.


Upacara Midodareni

Pada upacara midodareni yang  berlangsung dimalam hari sebelum Ijab dan Temu Manten/Panggih di keesokkan harinya, kedua orang tua calon mempelai pria beserta calon mempelai pria, diantar oleh keluarga dekatnya, berkunjung kerumah orang tua calon mempelai putri

Calon mempelai putri setelah dirias dikamar pelaminan, nampak cantik sekali bagai widodari, bidadari, dewi dari kahyangan.

Sesuai kepercayaan kuno, malam itu mempelai putri ditemani oleh beberapa dewi cantik dari kahyangan. Malam itu dia harus tinggal dikamar dan tidak boleh tidur dari jam 6/enam sore sampai tengah malam.Beberapa ibu sepuh menemani dan memberikan nasihat-nasihat berharga.

Keluarga calon mempelai pria yang wanita, yang datang dimalam midodareni, boleh menengok calon mempelai wanita yang sudah didandani cantik, siap untuk nikah esok harinya.

Sesuai adat, dikamar pelaminan ada sesaji khusus untuk upacara midodareni, ada sebelas macam makanan dan barang; selain itu ada  7/tujuh macam barang yang lain .


Upacara diluar kamar pelaminan

Dimalam midodareni, orang tua dan keluarga calon penganten putri, menerima kunjungan dari orang tua dan keluarga dari calon penganten pria. Mereka duduk didalam rumah, saling berkenalan dan bersantap bersama. Calon penganten pria juga datang, tetapi dia tidak boleh masuk rumah dan hanya boleh duduk diserambi depan rumah. Diapun hanya disuguhi segelas air minum, tidak boleh makan atau minum yang lain.Ini konon untuk melatih kesabaran seorang suami dan kepala keluarga.


Srah-srahan atau Peningsetan


Dalam upacara midodareni, bisa dilakukan srah-srahan atau peningsetan.( Pada zaman dulu, peningsetan dilakukan sebelum malam midodareni).  Orang tua dan keluarga calon penganten pria memberikan beberapa barang kepada orang tua calon penganten wanita.

Peningsetan dari kata singset, artinya mengikat erat, dalam hal ini terjadinya komitmen  akan sebuah perkawinan antara putra putri kedua pihak  dan para orang tua penganten akan menjadi besan.

Pemberian itu berupa : Satu set suruh ayu sebagai perlambang  harapan tulus  supaya mendapatkan keselamatan. Seperangkat pakaian untuk penganten wanita , termasuk beberapa kain batik dengan motif yang melambangkan kebahagiaan hidup. Tidak boleh ketinggalan sebuah stagen, ikat pinggang kain putih  yang besar dan panjang, sebagai pertanda kuatnya  tekad.Beberapa hasil bumi a.l. beras, gula, garam, minyak goreng, buah-buahan dlsb sebagai pralambang hidup kecukupan dan sejahtera bagi keluarga baru..

Sepasang cincin kawin untuk kedua mempelai.
Pada kesempatan ini, pihak calon mempelai pria menyerahkan sejumlah uang, sebagai sumbangan untuk pelaksanaan upacara perkawinan.Ini hanya formalitas belaka, karena urunan uang sudah diberikan jauh hari sebelumnya.

Sesudah bersantap bersama dan saling berkenalan, seluruh keluarga rombongan orang tua  temanten pria berpamitan untuk pulang. Mereka perlu mempersiapkan diri untuk besok yaitu pelaksanaan  upacara perkawinan yang penting termasuk pernikahan secara agama, Upacara adat temu manten  dsb.

Catatan : Menurut adat perkawinan Surakarta, sewaktu rombongan tamu berpamitan pulang, pihak tuan rumah memberikan angsul-angsulan , berupa  buah-buahan, kue-kue dan seperangkat pakaian temanten pria yang akan dipakai besok. Pada adat perkawinan gaya Yogyakarta, tidak ada angsul-angsulan.


Nyantri

Sewaktu rombongan keluarga temanten pria pulang dari upacara midodareni, calon penganten pria juga ikut diajak pulang.Tetapi, bila calon mempelai pria nyantri, maka dia ditinggal dirumah calon mertuanya.Tentu nyantri sebelumnya sudah dibicarakan dan disetujui kedua pihak. Begini tata caranya : Orang tua calon mempelai pria melalui  jurubicara keluarga mengatakan kepada orang tua calon mempelai wanita, bahwa calon mempelai pria tidak diajak pulang dan menyerahkan tanggung jawab kepada orang tua calon mempelai putri.

Setelah keluarganya pulang, ditengah malam dia dipersilahkan masuk rumah untuk makan, tidak boleh ketemu calon istrinya dan sesudah itu diantar kekamar  tidur  untuk beristirahat.

Nyantri dilaksanakan untuk segi praktisnya, mengingat besok pagi dia sudah harus didandani untuk pelaksanaan ijab kabul/pernikahan. Juga untuk keamanan pernikahan, kedua calon mempelai sudah berada disatu tempat.


Upacara Adat Tradisi Jawa

Upacara Pernikahan
Panggih atau  Temu Penganten. 

Secara tradisional Upacara Panggih atau Temu Penganten dilaksanakan dirumah orang tua penganten putri.

Pada saat yang telah ditentukan, penganten pria diantar oleh saudara-saudaranya  kecuali kedua orang tuanya yang tidak boleh hadir dalam upacara ini, tiba didepan rumah pengantin putri dan berhenti didepan pintu rumah. Sementara itu, pengantin wanita  dengan dikawal saudara-saudaranya dan diikuti kedua orang tuanya, menyongsong kedatangan rombongan pengantin pria dan berhenti dipintu rumah depan

Didepan pengantin wanita, dua gadis kecil yang disebut patah  membawa kipas. Dua anak laki-laki muda atau dua orang ibu, masing-masing membawa sebuah rangkaian bunga khusus yang namanya kembar mayang.Seorang ibu pengiring pengantin pria maju dan memberikan Sanggan kepada ibu pengantin putri sebagai tanda penghormatan untuk penyelenggaraan upacara perkawinan. Sanggan itu berupa buah pisang yang dibungkus rapi dengan daun pisang dan ditaruh diatas nampan.

Pada waktu upacara panggih, kembar mayang dibawa keluar rumah dan dibuang diperempatan jalan dekat rumah atau didekat berlangsungnya upacara perkawinan, maksudnya supaya upacara  berjalan selamat dan tidak ada gangguan apapun dan dari pihak manapun.


Balangan suruh

Kedua penganten bertemu dan berhadapan langsung pada jarak sekitar dua atau tiga meter, keduanya berhenti dan dengan sigap saling melempar ikatan daun sirih yang diisi dengan kapur sirih dan diikat dengan benang. Ini yang disebut ritual balangan suruh.

Kedua penganten dengan sungguh-sungguh saling melempar  sambil tersenyum, diiringi  kegembiraan semua pihak yang menyaksikan. Menurut kepercayaan kuno, daun sirih punya daya  untuk mengusir roh jahat. Sehingga dengan saling melempar daun sirih, kedua pengantin adalah benar-benar pengantin sejati, bukan palsu.


Ritual Wiji Dadi

Penganten pria menginjak sebuah telur ayam  kampung hingga pecah dengan telapak kaki kanannya, kemudian kaki  tersebut dibasuh oleh penganten putri dengan air kembang.

Pralambang nya : rumah tangga yang dipimpin seorang suami yang bertanggung jawab  dengan istri yang baik, tentu menghasilkan hal yang baik pula termasuk anak keturunan.

Ritual memecah telur ini ada versi lain dari Yogyakarta, pelaksanaannya sebagai berikut :

Pengantin pria dan wanita berdiri  berhadapan tepat. Telapak kaki kanan mempelai pria dibasuh dengan air kembang oleh mempelai putri dengan sikap jongkok. Perias temanten sebagai pembimbing  upacara, memegang telur ayam kampung itu ditangan kanannya.Ujung telur tersebut oleh perias ditempelkan pada  dahi pengantin pria dan kemudian pada dahi pengantin wanita.Kemudian telur itu dipecah oleh perias diatas tumpukan bunga yang berada diantara kedua pengantin Ini penggambaran kedua pengantin sudah mantap dalam satu pikiran, sadar saling kasih  membina rumah tangga yang  bahagia sejahtera dan menghasilkan anak keturunan yang  baik-baik


Ritual Kacar Kucur atau Tampa Kaya.

Sepasang pengantin  dengan bergandengan  dengan jari kecilnya berjalan menuju depan krobongan, tempat dimana upacara tampa kaya diadakan.Upacara kacar kucur ini menggambarkan : suami memberikan seluruh penghasilannya kepada istri. Dalam ritual ini suami memberikan kepada istri : kacang, kedelai, beras, jagung, nasi kuning, dlingo bengle, beberapa macam bunga dan uang logam dengan jumlah genap.Istri menerima dengan segenap hati dengan selembar kain putih yang ditaruh diatas selembar tikar tua yang diletakkan diatas pangkuannya. Artinya istri akan menjadi  ibu rumah tangga yang baik dan berhati-hati

Catatan
: Pada masa dulu, ritual tampa kaya , dhahar kembul dll, memang dilakukan didepan krobongan yang ada disenthong tengah ( Ruang tengah rumah kuno yang biasa dipakai untuk melakukan sesaji). Pada masa kini, ritual tersebut tetap diadakan meskipun upacara perkawinan diadakan digedung pertemuan atau hotel. Dekorasi dibelakang kursi temanten adalah ukiran kayu yang berbentuk krobongan. Ini untuk mengikuti perkembangan zaman dan sekaligus tetap melestarikan tradisi.


Ritual Dhahar Klimah atau  Dhahar Kembul
Dengan disaksikan orang tua pengantin putri dan kerabat dekat, sepasang pengantin makan bersama, saling menyuapi. Mempelai pria membuat tiga kepal nasi kuning dengan lauknya berupa telor goreng,tempe, kedelai, abon, ati ayam. Lalu ia menyuapkan kepada istrinya, sesudah itu ganti sang istri menyuapi suaminya, diakhiri dengan minum teh manis bersama. Ini melambangkan bahwa mulai saat ini keduanya akan mempergunakan dan menikmati bersama  apa yang mereka punyai.


Mertui atau Mapag Besan

Kedua orang tua pengantin putri menjemput kedua orang tua pengantin pria didepan rumah ( untuk perkawinan digedung menjemputnya didepan ruangan tempat berlangsungnya acara ritual) dan mempersilahkan  mereka masuk rumah/ ruangan tempat upacara, selanjutnya mereka berjalan bersama menuju ketempat upacara. Ibu-ibu berjalan didepan, bapak-bapak mengiringi dari belakang. Kedua orang tua pengantin pria didudukkan  sebelah kiri pengantin, orang tua pengantin putri duduk disebelah kanan penganten.


Upacara Sungkeman

Sepasang pengantin melakukan  sungkem kepada kedua belah pihak orang tua. Mula-mula kepada orang tua pengantin wanita kemudian kepada orang tua pengantin pria. Sungkem adalah merupakan bentuk penghormatan tulus kepada orang tua dan pinisepuh.

Pada waktu sungkem ( menghormat dengan posisi jongkok , kedua telapak tangan menyembah dan mencium lutut yang di-sungkemi), keris yang dipakai pengantin pria dilepas dulu dan dipegangi oleh perias, sesudah selesai sungkem , keris dikenakan kembali.

Orang tua dengan haru menerima penghormatan berupa sungkem dari putra putrinya dan pada waktu yang bersamaan juga memberikan restunya supaya  keduanya menempuh hidup rukun, sejahtera. Tanpa mengucapkan kata-kata itu, sebenarnya para orang tua pengantin sudah memberikan restu yang dilambangkan dari kain batik yang dikenakan yang polanya truntum , artinya punyailah rejeki yang cukup selama hidup. Kedua orang tua juga menggunakan ikat pinggang besar  yang namanya sindhur dengan pola gambar dengan garis yang melekuk-lekuk, artinya orang tua mewanti-wanti kedua anaknya supaya selalu bertindak hati-hati, bijak dalam menjalani kehidupan nyata didunia ini.


Ritual lain

Upacara-upacara diatas adalah  tradisi yang berlaku di Yogyakarta, didaerah Surakarta dan lainnya masih ada tambahan ritual yang lain.


Sindhur Binayang

Sesudah ritual Wiji Dadi, ayah pengantin putri berjalan didepan kedua temanten menuju ke kursi pengantin didepan krobongan, sedangkan ibu pengantin putri berjalan dibelakang kedua temanten, sambil menutupi pundak kedua pengantin dengan kain sindhur. Ini melambangkan , sang ayah menunjukkan jalan menuju ke kebahagiaan, sang ibu mendukung.


Timbang
Kedua penganten bersama-sama duduk dipangkuan ayahanda pengantin putri. Sesudah menimbang-nimbang sejenak, ayahanda berkata : Sama beratnya, artinya ayah mencintai keduanya , sama , tidak dibedakan.


Tanem

Selanjutnya, ayah mendudukkan sepasang pengantin dikursi mahligai perkawinan. Itu untuk memperkuat  persetujuannya terhadap perkawinan itu dan memberikan restunya.


Bubak Kawah
Ayah pengantin putri, sesudah upacara Panggih, minum rujak degan/ kelapa muda didepan krobongan. Istrinya bertanya :  Bagaimana Pak rasanya? Dijawab :  Wah segar sekali, semoga orang serumah juga segar. Lalu istrinya ikut mencicipi minuman tersebut sedikit dari gelas yang sama, diikuti anak menantu dan terakhir pengantin wanita. Ini merupakan perlambang permohonan supaya pengantin segera dikaruniai keturunan.

Tumplak Punjen
Ritual ini dilakukan oleh orang tua yang mengawinkan putrinya untuk terakhir kali. Tumplak artinya menuang atau memberikan semua, punjen adalah harta orang tua yang telah dikumpulkan sejak mereka berumah tangga.

Dalam ritual ini, orang tua yang berbahagia, didepan krobongan, memberikan miliknya( punjen) kepada semua anak-anak dan keturunannya. Secara simbolis kepada masing-masing diberikan sebuah bungkusan kecil yang berisi bumbu-bumbu,nasi kuning,uang logam dari emas, perunggu dan tembaga dll.

Dengan mengadakan tumplak punjen, orang tua ingin memberi teladan kepada anak keturunannya,bahwa mereka sudah purna tugas dan  supaya generasi penerus selalu menyukuri karunia Tuhan dan mampu melaksanakan tugas hidupnya dengan baik dan benar.

Tukar Kalpika

Pengantin melakukan tukar cincin sebagai tanda kasih dan keterikatan suami istri yang sah.

Resepsi Perkawinan

Sesudah seluruh rangkaian upacara perkawinan selesai, dilakukan resepsi, dimana kedua temanten baru, dengan diapit kedua belah pihak orang tua, menerima ucapan selamat dari para tamu.

Dalam acara resepsi, hadirin dipersilahkan menyantap hidangan yang sudah disediakan, sambil beramah tamah dengan kerabat dan kenalan. Ada kalanya,  sebelum resepsi  dimulai, diadakan pementasan fragmen  tari Jawa klasik yang sesuai untuk perkawinan seperti fragmen Pergiwo Gatotkaca atau  tari Karonsih, yang melukiskan hubungan cinta kasih wanita dan pria.



Pernikahan Tradisonal

Pernikahan Jawa Tradisional

Di Jawa dimana kehidupan kekeluargaan masih kuat, sebuah perkawinan tentu akan mempertemukan dua buah keluarga besar. Oleh karena itu, sesuai kebiasaan yang berlaku, kedua insan yang berkasihan  akan memberitahu keluarga masing-masing bahwa mereka telah menemukan pasangan yang cocok dan ideal untuk dijadikan suami/istrinya.


Bibit, Bebet, Bobot


Secara tradisional, pertimbangan penerimaan seorang calon menantu berdasarkan kepada bibit, bebet dan bobot.
Bibit      :artinya mempunyai latar kehidupan keluarga  yang baik.
Bebet   : calon penganten, terutama pria, mampu memenuhi kebutuhan keluarga.
Bobot   : kedua calon penganten adalah orang yang berkwalitas, bermental baik dan berpendidikan cukup.  
Biasanya setelah kedua belah pihak orang tua atau keluarga menyetujui perkawinan, maka dilakukan langkah-langkah selanjutnya, menurut kebiasaan adalah sebagai berikut :


Pinangan

Biasanya yang melamar adalah pihak calon penganten pria.Pada masa lalu, orang tua calon penganten pria mengutus salah seorang anggota keluarganya untuk meminang. Tetapi kini, untuk praktisnya orang tua pihak lelaki bisa langsung meminang kepada orang tua pihak wanita . Bila sudah diterima, langsung akan dibicarakan langkah-langkah selanjutnya sampai terjadinya upacara perkawinan.

Hal-hal yang perlu dibicarakan antara lain meliputi :
Tanggal dan hari pelaksanaan perkawinan, ditentukan kapan pernikahannya, jam berapa, biasanya dicari hari baik.Kalau hari pernikahan sudah ditentukan, upacara lain yang terkait seperti : peningsetan, siraman, midodareni, panggih , resepsi dll, tinggal disesuaikan.

Tidak kurang penting adalah pemilihan seorang pemaes, juru rias penganten tradisional.Dalam upacara perkawinan tradisional,  peran seorang perias temanten sangat besar, karena dia beserta asisten-asistennya  akan membimbing, paling tidak memberitahu seluruh pelaksanaan upacara, lengkap dengan sesaji yang diperlukan.Seorang pemaes yang  kondang, mumpuni dan  ahli dalam bidangnya ,biasanya juga punya jadwal yang ketat, karena laris, diminta merias dibanyak tempat, terlebih dibulan-bulan baik menurut perhitungan kalender Jawa. Oleh karena itu, perias temanten harus dipesan jauh hari.

Perlu diprioritaskan pula pemilihan tempat untuk pelaksanaan upacara perkawinan itu. Misalnya dimana tempat akad nikah, temu manten dan resepsinya. Apakah akan dilaksanakan dirumah, disebuah gedung pertemuan atau dihotel.

Dalam pelaksanaan perkawinan adat Jawa, pihak calon penganten wanita secara resmi adalah yang punya gawe, pihak pria membantu.Bagaimana pelaksanaan upacara perkawinan , apakah sederhana, sedang-sedang saja atau pesta besar yang mengundang banyak  tamu dan lengkap dengan hiburan, secara realitas itu tentu tergantung kepada anggaran yang tersedia. Pada saat ini kedua pihak sudah lebih terbuka membicarakan budget tersebut.


Kesibukan dirumah calon penganten putri

Yang lebih sibuk memang pihak orang tua calon penganten wanita. Hal-hal yang mesti dilakukan adalah :
  1. Mengundang keluarga terdekat untuk membicarakan dan menyiapkan seluruh proses perkawinan.Secara tradisi dibentuk sebuah panitya yang terdiri dari anggota keluarga dan kenalan dekat dan masing-masing mempunyai tugas yang  jelas.Hal yang penting pula adalah penunjukkan pihak yang bertanggungjawab tentang konsumsi,  Catering mana yang akan ditunjuk.Penunjukkan  catering  berdasarkan pengalaman penting sekali, harus yang baik dan bertanggungjawab dan servicenya memuaskan.

    Pada masa kini, dengan pertimbangan praktis,ada keluarga yang punya hajat,menunjuk seluruh pelaksanaan upacara diserahkan kepada Event Organizer yang profesional.

    Mungkin penunjukan Event Organizer dimaksud supaya tidak merepotkan keluarga yang lain, ada baiknya. Tetapi perlu diingat bahwa  upacara perkawinan tradisional itu adalah juga sebuah acara untuk keluarga, menyangkut segi sosial, dimana  para tamu selain hadir untuk memberi selamat kepada kedua temanten , juga untuk mempererat persaudaraan dan persahabatan antara pihak pengundang dan yang diundang.Pada banyak kejadian,sebuah upacara perkawinan tradisional yang dikendalikan sepenuhnya oleh Event Organizer terasa kaku , meski mereka melaksanakan benar sesuai prosedur langkah-langkah yang dilaksanakan. Yang hilang dari upacara itu adalah “roh” dari upacara ritual tersebut.

    Oleh karena itu, beberapa pelestari budaya Jawa  yang mau mengerti “segi kepraktisan zaman “ berpendapat sebaiknya untuk pelaksanaan hal-hal inti, meski ada  Event Organizer, tetap  harus ada anggota keluarga yang terlibat. Bagaimanapun , keluarga yang punya gawe harus membentuk panitya kecil praktis yang mampu mengarahkan dan membantu dan kalau perlu meluruskan kerja para personil Event Organizer tersebut.
  2. Pemasangan Bleketepe dan Tarub

Sehari sebelum upacara perkawinan, rumah orang tua mempelai wanita dipasangi tarub dan bleketepe dipintu masuk halaman depan.Dibuat gapura yang dihiasi tarub yang terdiri dari berbagai tuwuhan ,yaitu tanaman dan dedaunan yang punya arti simbolis.                                                                                                       

Dikiri kanan gapura dipasang  pohon pisang yang sedang berbuah pisang yang telah matang.

Artinya : Suami akan menjadi kepala keluarga ditengah kehidupan bermasyarakat.Seperti pohon pisang  yang bisa tumbuh baik dimanapun dan rukun dengan lingkungan, keluarga baru ini juga  akan hidup bahagia, sejahtera dan rukun dengan lingkungan sekitarnya.

Sepasang tebu wulung, pohon tebu yang berwarna kemerahan, merupakan simbol mantapnya kalbu, pasangan baru ini akan membina  dengan sepenuh hati keluarga mereka.

Cengkir gading- kelapa kecil berwarna kuning, melambangkan kencangnya-kuatnya pikiran baik, sehingga pasangan ini dengan sungguh-sungguh terikat dalam kehidupan bersama yang saling mencinta.

Berbagai macam dedaunan segar seperti : beringin, mojokoro,alang-alang,dadap srep, merupakan harapan supaya pasangan ini hidup dan tumbuh  dalam keluarga yang selalu selamat dan sejahtera.

Anyaman daun kelapa yang dinamakan bekletepe digantungkan digapura depan rumah, ini dimaksudkan untuk mengusir segala  gangguan dan roh jahat dan sekaligus menjadi pertanda bahwa dirumah ini sedang dilakukan upacara perkawinan.


Sesaji khusus diadakan sebelum pemasangan tarub dan bekletepe, yang  terdiri dari : nasi tumpeng, berbagai macam buah-buahan termasuk pisang dan kelapa, berbagai macam lauk pauk,kue-kue, minuman, bunga, jamu, tempe, daging kerbau, gula kelapa dan sebuah lentera.

Sesaji ini melambangkan permohonan supaya mendapatkan berkah dari Tuhan, Gusti dan restu dari para leluhur dan sekaligus sebagai sarana untuk menolak goda mahluk-mahluk halus jahat.

Sesaji ditempatkan dibeberapa tempat dimana prosesi upacara  perkawinan dilaksanakan seperti didapur, kamar mandi, pintu depan, dibawah tarub, dijalan dekat rumah dll.

Rabu, 30 Desember 2015

Tradisi Malam Satu Suro


Tradisi Malam Satu Suro
Pamaes Memecah Kendi 
Satu Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Sura atau Suro di mana bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender hijriyah, karena Kalender jawa yang diterbitkan Sultan Agung mengacu penanggalan Hijriyah (Islam). Satu suro biasanya diperingati pada malam hari setelah magrib pada hari sebelum tangal satu biasanya disebut malam satu suro, hal ini karena pergantian hari Jawa dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya.

            Tradisi malam satu suro di daerah Repaking Wonosegoro yang pelaksanaannya berbeda dengan dulu. Dua tahun belakangan ini hampir seluruh warga desa Repaking melaksanakan tradisi malam satu suro dengan cara yang berbeda, caranya lebih praktis, berbeda dengan dua tahun yang lalu, tradisi malam suro di peringati oleh seluruh warga dengan sedikit kemewahan, misalnya dengan menyembelih kambing untuk selametan dan upacara dan juga melaksanakan pengajian besar-besaran dimalam satu suro. Dan juga terdapat Tirakatan, tirakat dari kata ‘Thoriqot’ atau Jalan, yang dimaknai sebagai usaha mencari jalan agar dekat dengan Allah. Tirakatan ini digelar setiap malam satu Suro oleh kelompok-kelompok penganut aliran kepercayaan Kejawen yang masih banyak dijumpai di pedesaan. Mereka menyambut datangnya tahun baru Jawa dengan tirakatan atau selamatan. Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan di mana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan
.
Saat ini banyak sekali warga yang menganggap tradisi di malam satu suro itu biasa, jauh berbeda dengan dulu, banyak warga yang setiap malam satu suro merelakan tidak tidur dalam bahasa jawa lek-lekkan yang biasanya dilakukan oleh warga-warga di kampung. Biasanya warga sudah menyiapkan acara masing-masing. Ada yang sekadar berkumpul dan lek-lekan di pos ronda, mengobrol di depan rumah atau makan-makan bersama.

 Sekarang warga menyambutnya dengan cara yang biasa yaitu dengan berkumpul diperempatan jalan dan membuat makanan yang ditaruh di dalam besek kemudian dikumpulkan jadi satu dan di makan bersama-sama. Dulu banyak sekali antuasias warga yang menyambut malam satu suro dengan suka cita jauh berbeda dengan saat ini. 

Rawa Pening

Dumadhine Rawa Pening

Ing gunung Merbabu ana Pandhita tarak brata, kagungan putra kang salah kedaden awujud naga. Naga mau sangsaya mundhak gedhe. Nuju sawijine dina naga mau mara menyang pratapane Sang Pandhita, ngaku menawa putrane.Sang Pandhita banget anggone kewuhan ing penggalih. Wusana ngendika mangkene, “Eh naga, elok temen kowe yen ngaku anake manungsa, Ewa semono aku iyo gelem ngakoni anak marang sira menawa gelem tapa nglekeri gunung Merbabu iki kongsi tepung gelang, yen sira bisnyakepi gunung iki iya dakaku anak temenan.”
Kacarita naga mau banjur nglekeri gunung Merbabu. Saking suwene anggone tapa, awake dirambati oyot-oyodan nganti ora katon wujude naga. Suwene pethithing buntut arep digathukake karo sirahe isih cupet, ilate banjur dieletke supaya bisa gathuk karo buntut. Wusana Sang Ajar priksa, ilat ditigas, lan kethokan ilat mau dadi wesi nuli kinarya gegaman dening Sang Ajar. Naga mau tumekeng tiwas, awake sangsaya suwe sangsaya ora katon amarga saking akehe rerungkudan.
Ing sawijining wektu, wong-wong padhusan padha mbeburu kewan alas, arep kanggo wilujengan besih dusun. Meh sedino muput ora antuk gawe, terus padha ngaso lungguhan ing sangisoring wit gedhe. Ana salah sawijine wong kang kethok-kethok kayu landhesan oyod gedhe. Saiba kagete dene oyod mau ngetokake rah. Kanca-kancane padha gawok, sarta duwe pandunga menawa kang metu rahe iku ula gedhe.
Tinimbang ora anthuk kewan alas, antuk ula gedhe iya lumayan. Wong-wong mau banjur pada mbruncah ula, daginge digawa mantuk kapasrahake menyang daleme Pak Bayan.
Esuke ing daleme Pak Bayan wong-wong wadon pada rewang olah-olah, marga sorene arep wilujeng bersih dusun. Suksmane ula mau memba-memba bocah lanang, mara menyang daleme Pak Bayan njaluk sega karo iwak, nanging ora dir ewes babar pisan. Ana sawijine wong wadon tuwa sing welas marang bocah mau, banjur menehi sega lawuh iwak. Bocah lanang mau seneng banget, saking rasa panarimane, banjur meling marang Simbah Wedok mangkene, “Mbah mangke badhe wonten bena ageng, sampeyan sedhiya lesung kalih enthong, lesung kangge prau, enthongipun kangge melahi”.
Bocah lanang mau bareng wis wareg, banjur menyang latarnancepke sada ing lemah, ing kono akeh bocah liyane sing pada ngrubung. Bocah sing duwe sada mau kandha mangkene, “ Ayo, sapa bisa mbedhol sadaku iki? “akeh bocah sing padha nyoba genti-genten mbedhol, nanging siji-siji ora ono sing kuwawa. Wong-wong ing pendhapa bareng krungu bocah-bocah ngguyu ger-geran banjur padha metu. Wusana wong-wong mau padha melu nyoba mbedhol, nanging yo ora anak sing kuwawa. Bocah kang duwe sada nuli kandha, “Yen ora ana sing kuwawa mbedhol, endi dak bedhole dhewe!”.
Sawise saa kebedhol, tilase sada mau mancur banyu. Banyu mili gumbrojog, sangsaya suwe nuwuhake banjir, wong sadhusun  pating jerit ora karuwan polahe, wusana padha mati keblabak banjir. Nanging ana siji slamet merga numpak lesung, yaiku wong tuwa wadon kang menehi sega bocah lanang mau. Papan kang kebanjiran kasebut nganti seprene dadi rawa, ingaran Rawa Pening, kang pinangka tuk sumbere kali Tuntang.


Kesenian Wayang Kulit

 Asal Mula Kesenian Wayang Kulit

Wayang kulit adalah kesenian tradisional yang bekembang di kalangan masyarakat Jawa. Kesenian ini banyak di tampilkan dalam sebuah acara pernikahan, sedekah desa dll. Wayang kulit tidak hanya dijadikan sebagai sebuah pertunjukan melainkan juga digunakan sebagai media untuk permenungan menuju roh spiritual para dewa. Wayang kulit diyakini sebagai awal dari berbaga jenis wayang yang berkembang saat ini.
Asal mula kesenian wayang kulit ini, tidak lepas dari sejarah wayang itu sendiri. Wayang dari sebuah kalimat yang berbunyi “Ma Hyang” yang berarti berjalan menuju yang maha tinggi (bisa diartikan sebagai roh, Tuhan, ataupun Dewa). Akan tetapi, sebagian orang juga mengartikan  bahwa wayang berasal dari bahasa jawa yang berarti bayagan. Hal tersebut dikarenakan  ketika penonton  menyaksikan pertunjukan ini mereka hanya melihat bayangan yang digerakkan oleh para dalang yang juga merangkap tugas sebagai narator. Dalang merupakan singkatan dari kata-kata ngudhal piwulang. Ngudhal berarti menyebarluaskan atau membuka, sedangkan Piwulang berarti pendidikan atau ilmu.
Sejarah pertama mengenai pertunjukan wayang hal ini mengacu adanya pada sebuah prasati yag dilacak berasa dari tahun 930 yang mengatakan si Galigi mawayang. Saat itulah sampai sekarang beberapa fitur teater boneka tradisioanal tetap ada. Galigi adalah  seorang penampil yang diminta untuk menggelar sebuah pertunjukan ketika ada acara ataupun upacara penting.

Wayang kulit sendiri terbagi dalam beberapa jenis, salah satunya adalah  wayang kulit Gagrag Banyumas. Wayang kulit satu ini mempunyai gaya pendalangan yag dikenal dengan sebutan pakeliran. Gaya ini dinilai sebagai cara untuk mempertahankan diri. Berikutnya wayang kulit Banjar, wayang ini berkembang di Banjar Kalimantan Selatan. Sejak awal abad ke-14. 

Tradisi Rumah Joglo

RUMAH JOGLO
Istilah Joglo berasal dari kerangka bangunan utama dari rumah adat jawa terdiri atas soko guru berupa empat tiang utama dengan pengeret tumpang songo (tumpang sembilan) atau tumpang telu (tumpang tiga) di atasnya. Struktur joglo yang seperti itu, selain sebagai penopang struktur utama rumah, juga sebagai tumpuan atap rumah agar atap rumah bisa berbentuk pencu. Hal ini melambangkan bahwa, pada hakekatnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa menjalani hidup seorang diri, melainkan harus saling bantu membantu satu sama lain, selain itu soko guru juga melambangkan empat hakikat kesempurnaan hidup dan juga ditafsirkan sebagi hakikat dari sifat manusia.
Pada bagian pintu masuk memiliki tiga buah pintu,yakni pintu utama di tengah dan pintu kedua yang berada di samping kiri dan kanan pintu utama. Ketiga bagian pintu tersebut memiliki makna simbolis bahwa kupu tarung yang berada di tengah untuk keluarga besar, sementara dua pintu di samping kanan dan kiri untuk besan, hal ini melambangkan bahwa tamu itu adalah raja yang harus di hormati dan di tempatkan di tempat yang berbeda dengan keluarga inti ataupun keluarga dari mempelai, demi menghormati kehadiran mereka dan memberi tempat yang berbeda dari keluarga sendiri dan itu adalah cara atau tata krama yang pantas Pada ruang bagian dalam yang disebut gedongan dijadikan sebagai mihrab, tempat Imam memimpin salat yang dikaitkan dengan makna simbolis sebagai tempat yang disucikan, sakral, dan dikeramatkan. Gedongan juga merangkap sebagai tempat tidur utama yang dihormati dan pada waktu-waktu tertentu dijadikan sebagai ruang tidur pengantin bagi anak-anaknya, ruang tengah melambangkan bahwa di dalam rumah tinggal harus ada tempat khusus yang disakralkan atau di sucikan supaya digunakan ketika acara-acara atau kegiatan tertentu yang sakral atau berhubungan dengan Tuhan, hal ini adalah salah satu cara bagi penghuni rumah untuk selalu mengingat keberadaan Tuhan ketika berada di dalam Rumah mereka.

Ruang depan yang disebut jaga satru disediakan untuk umat dan terbagi menjadi dua bagian, sebelah kiri untuk jamaah wanita dan sebelah kanan untuk jamaah pria. Masih pada ruang jaga satru di depan pintu masuk terdapat satu tiang di tengah ruang yang disebut tiang keseimbangan atau soko geder, selain sebagai simbol kepemilikan rumah, tiang tersebut juga berfungsi sebagai pertanda atau tonggak untuk mengingatkan pada penghuni tentang keesaan Tuhan. Pemilihan dan penggunaan bahan bangunan adalah faktor keempat. Penggunaan kayu untuk dinding (gebyok) dan genteng tanah liat untuk atap disebabkan material ini bersifat ringan sehingga relatif tidak terlalu membebani bangunan.
Sirkulasi keluar masuknya udara pada rumah joglo sangat baik karena penghawaan pada rumah joglo ini dirancang dengan menyesuaikan dengan lingkungan sekitar. rumah joglo, yang biasanya mempunyai bentuk atap yang bertingkat-tingkat, semakin ke tengah, jarak antara lantai dengan atap yang semakin tinggi dirancang bukan tanpa maksud, tetapi tiap-tiap ketinggian atap tersebut menjadi suatu hubungan tahap-tahap dalam pergerakan manusia menuju ke rumah joglo dengan udara yang dirasakan oleh manusia itu sendiri, sehingga hal itu menyebabkan penghuni merasa nyaman ketika berada di dalam bangunan dan hal itu membuat penghuni lebih sering berkumpul dengan keluarga dan merasakan kebersamaan yang kuat seperti struktur yang menopang rumah Adat Joglo ini.
Ciri khas atap joglo, dapat dilihat dari bentuk atapnya yang merupakan perpaduan antara dua buah bidang atap segi tiga dengan dua buah bidang atap trapesium, yang masing-masing mempunyai sudut kemiringan yang berbeda dan tidak sama besar. Atap joglo selalu terletak di tengah-tengah dan selalu lebih tinggi serta diapit oleh atap serambi. Bentuk gabungan antara atap ini ada dua macam, yaitu: Atap Joglo Lambang Sari dan Atap Joglo Lambang Gantung. Atap Joglo Lambang Sari mempunyai ciri dimana gabungan atap Joglo dengan atap Serambi disambung secara menerus, sementara atap Lambang Gantung terdapat lubang angin dan cahaya, dan hal ini melambangkan filosofi kehidupan manusia, bahwa kehidupan semakin sukses (berada diatas) maka cobaan pun akan semakin berat, semakin kuat diterpa angin, dan selalu rawan untuk jatuh apabila tidak hati-hati, dan alangkah baiknya jika hidup kita seperti kontruksi Rumah dan Penataan Ruang pada Rumah joglo ini, yang saling mengikat satu sama lain, mengormati, bantu membatu, dan tidak ada yang dirugikan.

Kesimpulan : sistem yang terkandung dalam penataan ruang dan struktur Rumah adat joglo ini, selain menuntun manusia untuk hidup sosial dan bantu membantu adalah menjadikan diri manusia tidak sombong dan menghormati satu sama lain, dan juga tidak pernah lupa akan keberadaan Yang Maha Kuasa.

Asal Mula Desa Bawang Kecamatan Bawang Kabupaten Batang

 Asal Mula Desa Bawang 
            Pada zaman dahulu kala, pada masa pemerintahan Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma di kerajaan Mataram, setelah permintaan perdmaiannya ditolak oleh pihak VOC, Sultan Agung menyatakan perang pada bulan April 1928. Serangan ke Batavia pertama kali dilaksanakan pada tanggal 27 Agustus 1928. Namun pasukan Mataram mengalami kehancuran karena mengalami kekalahan dan kurangnya perbekalan. Hingga pada tahun berikutnya pasukan Mataram kembali menyerang Batavia pada bulan Mei 1929 yang dipimpin oleh Adipati Ukur. Meskipun telah mengantisipasi kegagalan atas kegagalan sebelumnya dengan mendirikan lumbung-lumbung padi, pasukan Mataram kembali mengalami kekalahan.

Dalam penyerangan Batavia yang kedua tersebut turut serta dua prajurit yang bernama Sukadana dan Ranawijaya. Mereka yang menjadi prajurit yang selamat atas pertempuran tersebut malu untuk pulang ke Kesultanan Mataram. Karena rasa malu untuk pulang dengan kekalahan perang, kedua prajurit tersebut akhirnya memutuskan untuk menetap di daerah lain yang mampu mereka jangkau akan tetapi jauh dari asal mereka. Mereka berdua mengembara hingga menemukan tempat yang dirasa aman. Sukadana menetap di suatu desa, yang kini dikenal dengan desa Soka di Kecamatan Bawang. Sedangkan Ranawijaya mendirikan dukuh yang tidak jauh dari tempat tinggal Sukadan yang dinamakan Kebon Dalem dan menetap di sana. Dikarenakan dalam dukuh Kebon Dalem serta beberapa dukuh disekitarnya banyak ditemukan pohon buah bawang, akhirnya tempat tersebut dinamakan desa Bawang. 

Kesenian Ketoprak

 Ketoprak
Ketoprak pada mulanya hanya merupakan permainan orang-orang desayang sedang menghibur diri dengan menabuh lesung secara berirama diwaktu bulan purnama, dengan sebutan gejog. Kemudian ditambah dengan tembang yang dilakukan scara bersama-sama dan ditambah dengan gendang, terbang dan suling , maka lahirlah Ketoprak lesung.
Ketoprak pertama yang secara resmi di pertunjukkan di depan umum adalah ketoprak Wreksotomo, yang dibentuk oleh Ki Wisangkoro, dengan pemain semuanya pria, cerita yang dipentaskan masih sangat sederhana yaitu dengan cerita Warso-Warsi, Kendono-Kendini, Darmo-Darmi dll. Setelah itu perkembangan ketoprak sangat maju dan digemari oleh masyarakat, terutama berkembang di daerah Jyogyakarta. Pertunjukan ketoprak yang dimulai dari pertunjukan permainan lesung, kemudian menjadi pertunjukan ketoprak lengkap dengan cerita dan gamelan yang mengiringi, serta pengaruh-pengaruh teater bangsawan yang menyelinap ke tubuh pertunjukan Ketoprak, dapat disusun sebagai berikut :
a.       Kotekan Lesung : sebagai awal
b.      Ketoprak Lesung Mula : perkembangan dari kotekan lesung dan tari-tarian
c.        Ketoprak Lesung : sebuah pertunjukan lengkap dengan cerita-cerita rakyat dengan iringan gamelan
d.      Ketoprak Gamelan : perkembangan dari ketoprak lesung, dilengkapi dengan cerita Panji ditambah dengan pakaian ‘mesiran’ (seribu satu malam)
e.       Ketoprak Panggung : dengan cerita campuran, baik cerita rakyat, sejarah, babad dll.

Ketopak Panggung yang sampai sekarang masih bisa disaksikan di daerah jawa tengan dan jawa timur. 

Kesenian Jathilan

Jathilan
Kesenian yang telah lama dikenal oleh masyarakat Yogyakarta juga masyarakat Jawa Tengah. Jathilan juga dengan nama kuda lumping, kuda kepang atau jaran kepang. Tersemat kata “kuda” karena kesenian yang merupakan perpaduan antara semi tari dengan magis ini dimainkan dengan menggunakan properti berupa kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman bambu (kepang). Sedangkan jathilan sendiri berasal dari kalimat berbahasa jawa “jaranne jan thil-thilan tenan”  joget tak beraturan ini memang bisa dilihat pada kesenian jathilan utamanya ketika para penari telah kerasukan.
Pada mulanya penari nampak lemah gemulai dalam menggerakan badan, namun seiring waktu berjalan, para penari menjadi kerasukan roh halus dalam istilah jawa “ndadi” karena kerasukan, maka para penari jathilan hampir tidak sadar terhadap apa yang diperbuatnya. Gerakan tariannyapun mulai tak teratur.
Pawang yaitu sosok yang memiliki peran serta tanggungjawab mengendalikan jalannya pertunjukan dan menyembuhkan para penari yang kerasukan. Para penari jathilan mampu melakukan gerakan atraksi berbahaya yang tidak dapat dicerna oleh akal manusia, sebagai contoh adalah memakan dedaunan, menyantap kembang, bahkan juga mengunyah beling (pecahan kaca).

Adanya ritual baik sebelum ataupun pada saat pertunjukan berlangsung, disediakan pula sejenis sesaji dengan maksud menyajikan atau mempersembahkan. Hal ini dimaknai sebagai gambaran manusia agar tetap “manembah pun berserah”. Oleh karenanya sesaji ini lebih pada simbol berserah diri kepada Tuhan agar keselamatan tetap melimpah, baik pada para pelaku ataupun masyarakat sekitar, serta para penpntonnya. Sesajennya meliputi, satu tangkep pisang raja, jajanan pasar, tumpeng robyong, kembang, minuman (kopi, teh, air putih), menyan, hio (dupa china), ingkung serta sega golong (nasi boling).

Tradisi Sadranan

SADRANAN
Bacaan dzikir dan tahlil dikumandangkan di halaman makam. Dipimpin oleh sesepuh desa setempat warga yang telah memadati halaman pemakaman menirukan bacaan-bacaan doa sembari duduk di samping tenong yang mereka bawa dan mereka rapikan dalam barisan hingga memenuhi halaman makam yang terletak di tengah kebun tembakau itu.
Pagi sekitar jam 08.30 ratusan warga sudah mulai memenuhi halaman makam. Mereka datang bersama keluarga mereka dan terlihat kaum pria menyunggi tenongan, baik remaja hingga yang tua. Mereka yang hadir pada pagi hari itu memiliki leluhur yang dimakamkan di pemakaman ini. Dan mereka semua akan selalu kembali ke makam ini setiap tahunnya untuk menggelar tradisi yang sama menjelang bulan puasa, yaitu tradisi Sadranan atau berziarah ke makam leluhur menjelang bulan puasa.

Ratusan tahun tradisi Sadranan telah berjalan dan keturunan warga selalu menyempatkan diri hadir untuk menggelar Sadranan sekaligus melestarikan budaya ini. Bahkan, banyak warga di desa ini mengaku bahwa suasana saat Sadranan jauh lebih meriah ketimbang saat Lebaran tiba.

Asrah Batin Upacara dua desa yang bersaudara Karanglangu dan Ngombak

Asrah Batin
Seperti halnya saudara kandung, seorang kakak tidak boleh menikah dengan adiknya. Begitu juga hubungan kedua desa bersaudara, Ngombak dan Karanglangu. Tidak boleh ada pernikahan antara penduduk kedua desa tersebut. “Karanglangu itu kakak dan Ngombak ituadiknya,” ujar Slamet, Kepala Desa Karanglangu. Karanglangu dan Ngombak, keduanya terletak di daerah yang sama yaitu Kecamatan Kedungjati, Kabupaten Grobogan. Bentangan sungai besar Kedungmiri yang membuat jarak antara keduanya. Setiap dua tahun sekali sang kakak selalu mengunjungi adiknya. Peristiwa ini yang dinamakan Upacara Asrah Batin. Dalam bahasa Indonesia berarti menyerahkan atau memasrahkan perasaan. A. Tamsir A., Ma. Pd yang dipercaya sebagai pemimpin Upacara Asrah Batin menceritakan bahwa hubungan kedua desa ini sudah ada sejak adanya desa tersebut.
“Ceritanya bermula dari janda yang sering dikenal dengan nama Mbok Randha Dhadhapan. Dipanggil begitu karena dia tinggal di Desa Dhadhapan. Anak laki-lakinya bernama Kedhana dan anak perempuannya bernama Kedhini”, ungkap guru Sekolah Dasar ini layaknya mendongeng.Suatu hari Kedhana dan Kedhini pergi dari rumah karena dimarahi oleh ibunya. Ketika dalam perjalanan mereka terpisah satu sama lain. Kedhana menetap di Desa Karanglangu dengan nama Raden Bagus Sutejo dan Kedhini menetap di Desa Ngombak dengan nama Raden Ayu Bertahun-tahun kemudian, Sutejo bertemu kembali dengan Mursiyah dan tidak saling mengenal satu sama lain. Tak diduga mereka saling jatuh cinta, bahkan serius ingin melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan. “Nah, sebelum menikah, baru tahulah mereka satu sama lain kalau mereka kakak beradik. Ada bekas luka di pelipis sebelah kiri Raden Bagus Sutejo. Luka yang mengingatkan keduanya tentang kejadian sebelum mereka pergi dari rumah yaitu luka bekas dipukul ibunya,” sambil menunjukan makam Raden Ayu Mursiyah, Sugiarto, sang juru Pertemuan ini yang memupuskan cinta kasih dan rencana pernikahan mereka.
 “Setelah diceritakan semua kejadian yang dialami masing-masing, merekapun terharu dan menangis. Tangisan ini merupakan tangis kebahagiaan karena dapat bertemu lagi antara kakan dan adik,” jelas Tamsir dalam makalahnya “Cerita Asrah Batin”.Dalam makalahnya, Tamsir mengungkapkan bahwa untuk menjaga hubungan persaudaraannya, Kedhana alias Raden Bagus Sutejo dan dan Kedini alias Raden Ayu Mursiyah membuat suatu perjanjian. Setiap dua panenan sekali sang kakak akan mengunjungi adiknya  Ngombak bersama sanak kadang, tetangga serta masyarakat Desa Karanglangu. Dan si adik beserta seluruh masyarakat Ngombak akan menjemputnya di tepi Sungai Kedungmiri, tempat mereka bertemu kembali. Setelah Sutejo dan Mursiyah meninggal, upacara ini tetap dilaksanakan dengan pemerannya adalah Kepala Desa Karanglangu dan Kepala Desa Ngombak. Kepala Desa Karanglangu datang dengan naik kuda diiringi oleh warga masyarakatnya menempuh perjalanan kurang lebih tujuh kilometer dan menyeberangi sungai. Dengan membawa makanan kesukaan adiknya yaitu minuman dari air tape yang disebut Badhek. Sedangkan sang adik menyiapkan sambutan dengan mengadakan “Beksan Langen Tayub” dengan diiringi “Gendhing Eling-eling Boyong” serta makanan kesukaan kakaknya Bothok Ikan Mangut.Selama bertahun-tahun masyarakat Karanglangu dan Ngombak melaksanakan tradisiAsrah Batin ini.

Kepercayaan warga setempat, jika melaksanakan upacara ini akan mendapat keberuntungan dan jika tidak dilaksanakan akan terjadi bencana. “Ada kejadian seorang pendatang tenggelam di sungai yang dalamnya hanya sebatas perut, apa ini wajar? Setelah di selidiki tertanya sesajen yang gunakan dalam upacara Asrah Batin kurang lengkap,” terang kakek juru kunci berambut putih itu.Upacara tersebut dilaksanakan dua tahun sekali yaitu pada tahun genap di bulan Ruwah hari Minggu.

Tukar Tenong Cepogo Boyolali

Tukartenong

Ketika Mentari mulai tampak terang, warga yang telah selesai membersihkan makam pulang ke rumah. Mereka akan kembali lagi ke makam, sekitar jam setengah 8 pagi. Namun kali ini bukan lagi alat kebersihan yang mereka bawa, melainkan dengan membawa “tenong”, yakni wadah makanan berbentuk bulat dari anyaman bambu.

Tiap keluarga membawa satu atau lebih tenong, yang nantinya akan dibagikan pada seluruh warga yang hadir. Isi makanan dalam tenong bisa terdiri dari berbagai jenis makanan seperti jajanan pasar, kue atau roti, atau buah.

Biasanya, dalam setiap penyelenggaraan terdapat 700 hingga 800 tenong yang dibawa ke makam. Tenong dibariskan berjejer di kompleks makam. Kemudian setelah diperdengarkan ceramah dari seorang kiai dan dibacakan doa, maka tenong pun dibagikan dengan cara tukar makanan. Prosesi tukar makanan dalam ratusan tenong inilah yang menjadi khas tradisi Sadranan Cepogo.

Setelah selesai dengan seluruh prosesi Sadranan di pemakaman, beberapa warga biasanya akan bersilaturahmi ke rumah warga di wilayah itu. Mereka yang tinggal di daerah itu pun juga telah bersiap menyambut tamu-tamu yang akan hadir setelah prosesi tradisi Sadranan di bulan Ruwah itu selesai.

Seperti halnya di kawasan lain, Sadranan biasa digelar dari tanggal 15 bulan Ruwah hingga menjelang dimulainya puasa pada tanggal 1 bulan Pasa (Jawa). Pada tahun ini, penyelenggaraan Sadranan di Cepogo, berlangsung pada Selasa (25/6) atau bertepatan dengan 16 Sya’ban.

Minggu, 06 Desember 2015

Tradisi Sebaran Sewu Apem di Jatinom

Upacara Saparan di Jatinom
Di tiap pertengahan bulan Sapar atau Safar penanggalan Hijriyah, Dukuh Jatinom, Kabupaten Klaten akan diserbu berduyun-duyun masyarakt sekitar maupun luar kota untuk menyaksikan upacara Ongkowiyu atau lebih dikenal dengan Yaqowiyu untuk memperebutkan kue apem yang disusun berbentuk gunungan. Tak tanggung-tanggung, di puncak acara, apem yang total mencapai 4,5 ton itu diserbu oleh sekitar 50.000 orang yang telah berkumpul. Bisa dibayangkan semeriah apa acara tersebut, orang rela berdesak-desakan dan berlomba meraup apem yang disebarkan oleh panitia. Kebanyakan orang datang kesana berharap berkah dari Kyai Ageng Gribig, sang pelopor acara. Bahkan banyak ibu-ibu dan nenek- nenek yang nekat menceburkan diri dalam kerumunan hanya untuk mendapat kue apem dengan harapan agar usahanya lancar dan diberkahi.

Tak hanya penduduk lokal, para wisatawan pun kerap datang menyaksikan kemeriahan acara ini Upacara ini berawal dari pengajian yang diadakan oleh Kyai Ageng Gribig yang pada saat mengakhiri acara selalu memanjatkan doa “ Ya qowiyu Yaa Assis qowina wal muslimin, Ya qowiyyu warsuqna wal muslimin ” , untuk memohon kekuatan terhadap kaum muslim. Untuk menghormati para tamu, maka dibuatlah hidangan kue apem dan makanan kecil lainnya. Dari situlah kemudian upacara ini berkembang pesat dan menjadi besar seperti sekarang ini. Penyusunan gunungan apem itu juga ada artinya, apem disusun menurun seperti sate 4-2-4-4-3 maksudnya jumlah rakaat dalam shalat isa/ subuh/ zuhur/ ashar/ dan magrib. Konon menurut sejarah suatu hari di bulan sapar ki ageng gribig yang merupakan keturunan prabu brawijaya kembali dari perjalanannya ke tanah suci ia membawa oleh- oleh 3 buah makanan dari sana. Sayangnya saat akan dibagikan kepada penduduk, jumlahnya tak memadai bersama sang istri iapun membuat kue sejenis. Kue-kue inilah yang kemudian disebarkan kepada penduduk setempat/ yang berebutan mendapatkannya sambil menyebarkan kue-kue ini iapun meneriakkan kata “ yaqowiyu ” yang artinya “ tuhan berilah kekuatan ” Makanan ini kemudian dikenal dengan nama apem saduran bahasa arab “ affan ” yang bermakna ampunan tujuannya agar masyarakat selalu memohon ampunan kepada sang pencipta. Perayaan yang dipusatkan di kompleks makam Kyai Ageng Gribig ini biasanya dihadiri Bupati beserta pejabat Kabupaten Klaten agar lebih meramaikan suasana dan mendekatkan diri kepada rakyat.

Serat Gandrung Asmara "Kinanthi"

KINANTHI
Pupuh 1
      Mung dadia kanthiningsun : hanya menjadi pendampingku
      Dhuh gusti rêtnaning èstri : duh gusti permata wanita
      Myang Hyang Hyanging jagad traya : kepada tuhan, tuhannya alam semesta
      Musthikaning wanitadi : permata wanita yang utama
      Kumalaning sanagara: mutiara negara
      Dununging tyas saprajadi : tempat hati seluruh keluarga besar kerajaan
Pupuh 2
       Panuwune dasihipun : ucapan terimakasih
       Tulusa dadia abdi: (saya) dengan tulus menjadi abdi
       Ing dunya praptèng dêlahan: dari dunia hingga akhirat 
       Lêmpuyang [lêmpuyang] awoh balimbing (warêsah) : (kata   wangsalan)
       Aywa pisah salaminya : terpisahnya nyawa selamanya
       Dasihe tan pêgat asih : rasa kasih sayangnya tidak terputus
Pupuh 3
      Sabda kang durung kêwêtu (ngudarasa) : suara yg belum keluar
      Pasewakan jroning puri (srimanganti) : pertemuan didalam istana
      Sun manganti karsanira: saya ingin selalu bersamnya dengan keinginanmu
      Tawon gung kang tala siti (tutur) : lebah yang rumahnya dari rumah
      Muga luntura sihira: semoga kasihnya selalu mengalir
      Dhuh gusti musthikèng bumi: ya allah permatanya bumi
Pupuh 4
      Bumi manggung mawèh andrung : bumi tanpa putus selalu memberi
      Kang gêgêr kang wukir-wukir: Yang mengegerkan gunung-gunung
      isthane kadya yun wikan: Melihat istana seperti ayunan 
      Dhaupe putra lan putri   : Pernikahan putra dan putrinya
      Ririse asalah môngsa       : Hujan belum masanya
      Kadi-kadi asung tangis     : Seperti memberi tangis
Pupuh 5
      Wlas dulu sang mawèh gandrung : Melihat yang mencintainya
      Mêndhunge gumandhul têbih : awan menggantung jauh
      Isthane kadi angungak : istana seperti terbnuka
      Têtinjo sang among kingkin: kangen melihat yg mengasuh
      Maruta ririh lampahnya: pelanya jalan angin
      Ngrês mulat sang mawiyadi: takut melihat yg datang
Pupuh 6
      Dumadi tan pêgat gandrung : yang mencintainya tidak akan pernah putus
      Yèn gusti tan sih ing dasih :
      Wêlasana asihana : kasihanilah daku
      Dimèn tulus andêdasih : agar tulus menjadi kekasih
      Kang kinawi jae wana (lêmpuyang)
      Dimèn mari poyang-paying : supaya sembuh kerinduanku
Pupuh 7
      Kahyangane Sang Hyang Wisnu (Ngutara) 
      Sun watara sira gusti : Pangira-iraku dheweke gusti
      Cuwa ing tyas sawatara: Sawetara gela ing ati
      Labêt pugale kang abdi: Tilas kewan sing abdi
      Dhuh-dhuh gusti ngapuraa : Duh gusti mohon maaf
      Sisipe ing nguni-uni : Kesalahannya yang dilebih-lebihkan
Pupuh 8
      Mung owêlên susahipun : Hanya tinggal kesusahan
      Kawulanta sanagari : Mengabdi pada negara
      Kang rumojong ing sakarsa :
      Supaya tulusa dadi : Supaya tulus menjadi
      Pangaubaning rat Jawa: Jagat tanah jawa
      Ywa kongsi cuwa ing kapti: Keinginannya jangan sampai kecewa