Jathilan
Kesenian
yang telah lama dikenal oleh masyarakat Yogyakarta juga masyarakat Jawa Tengah.
Jathilan juga dengan nama kuda lumping, kuda kepang atau jaran kepang. Tersemat
kata “kuda” karena kesenian yang merupakan perpaduan antara semi tari dengan
magis ini dimainkan dengan menggunakan properti berupa kuda-kudaan yang terbuat
dari anyaman bambu (kepang). Sedangkan jathilan sendiri berasal dari kalimat
berbahasa jawa “jaranne jan thil-thilan tenan”
joget tak beraturan ini memang bisa dilihat pada kesenian jathilan
utamanya ketika para penari telah kerasukan.
Pada
mulanya penari nampak lemah gemulai dalam menggerakan badan, namun seiring
waktu berjalan, para penari menjadi kerasukan roh halus dalam istilah jawa
“ndadi” karena kerasukan, maka para penari jathilan hampir tidak sadar terhadap
apa yang diperbuatnya. Gerakan tariannyapun mulai tak teratur.
Pawang
yaitu sosok yang memiliki peran serta tanggungjawab mengendalikan jalannya
pertunjukan dan menyembuhkan para penari yang kerasukan. Para penari jathilan
mampu melakukan gerakan atraksi berbahaya yang tidak dapat dicerna oleh akal
manusia, sebagai contoh adalah memakan dedaunan, menyantap kembang, bahkan juga
mengunyah beling (pecahan kaca).
Adanya
ritual baik sebelum ataupun pada saat pertunjukan berlangsung, disediakan pula
sejenis sesaji dengan maksud menyajikan atau mempersembahkan. Hal ini dimaknai
sebagai gambaran manusia agar tetap “manembah pun berserah”. Oleh karenanya
sesaji ini lebih pada simbol berserah diri kepada Tuhan agar keselamatan tetap
melimpah, baik pada para pelaku ataupun masyarakat sekitar, serta para
penpntonnya. Sesajennya meliputi, satu tangkep pisang raja, jajanan pasar,
tumpeng robyong, kembang, minuman (kopi, teh, air putih), menyan, hio (dupa
china), ingkung serta sega golong (nasi boling).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar