Rabu, 30 Desember 2015

Kesenian Jathilan

Jathilan
Kesenian yang telah lama dikenal oleh masyarakat Yogyakarta juga masyarakat Jawa Tengah. Jathilan juga dengan nama kuda lumping, kuda kepang atau jaran kepang. Tersemat kata “kuda” karena kesenian yang merupakan perpaduan antara semi tari dengan magis ini dimainkan dengan menggunakan properti berupa kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman bambu (kepang). Sedangkan jathilan sendiri berasal dari kalimat berbahasa jawa “jaranne jan thil-thilan tenan”  joget tak beraturan ini memang bisa dilihat pada kesenian jathilan utamanya ketika para penari telah kerasukan.
Pada mulanya penari nampak lemah gemulai dalam menggerakan badan, namun seiring waktu berjalan, para penari menjadi kerasukan roh halus dalam istilah jawa “ndadi” karena kerasukan, maka para penari jathilan hampir tidak sadar terhadap apa yang diperbuatnya. Gerakan tariannyapun mulai tak teratur.
Pawang yaitu sosok yang memiliki peran serta tanggungjawab mengendalikan jalannya pertunjukan dan menyembuhkan para penari yang kerasukan. Para penari jathilan mampu melakukan gerakan atraksi berbahaya yang tidak dapat dicerna oleh akal manusia, sebagai contoh adalah memakan dedaunan, menyantap kembang, bahkan juga mengunyah beling (pecahan kaca).

Adanya ritual baik sebelum ataupun pada saat pertunjukan berlangsung, disediakan pula sejenis sesaji dengan maksud menyajikan atau mempersembahkan. Hal ini dimaknai sebagai gambaran manusia agar tetap “manembah pun berserah”. Oleh karenanya sesaji ini lebih pada simbol berserah diri kepada Tuhan agar keselamatan tetap melimpah, baik pada para pelaku ataupun masyarakat sekitar, serta para penpntonnya. Sesajennya meliputi, satu tangkep pisang raja, jajanan pasar, tumpeng robyong, kembang, minuman (kopi, teh, air putih), menyan, hio (dupa china), ingkung serta sega golong (nasi boling).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar