Tradisi Tiban
Adalah kesenian cambuk
berdarah yang diadakan oleh Eyang Tumenggung Surontani Anyokrokusumo dari
Katumenggungan Wajak. Pada masa pemerintahan Tumenggung Anyokrokusumo Tiban
bertujuan untuk mencari bibit-bibit prajurit yang tangguh di Katumenggungan Wajak.
Tetapi setelah Katumenggungan Wajak runtuh dan berubah menjadi Kabupaten
Tulungagung, Tiban digunakan untuk meminta hujan bila terjadi kemarau panjang.
Pemain Tiban pada masa Tumenggung Surontani Anyokrokusumo adalah rakyat
Katumenggungan Wajak saat itu.
Untuk bergabung menjadi
pemain Tiban diperlukan keahlian khusus. Diantaranya harus terampil dan berani
mencambuk didasari pada gerakan pencak silat. Selain itu pemain juga harus bisa
menguasai ilmu kanuragan. Persiapan yang dilakukan sebelum hari H diantaranya
adalah ritual pribadi “adus kramas” yang dilakukan oleh para pemain Tiban.
Untuk pemain muda-muda mereka dilatih terlebih dahulu oleh seniornya. Pada
zaman dahulu, para pemain langsung bermain di arena tanpa ada latihan. Sebelum
Tiban dimulai, musik dipersiapkan terlebih dahulu. Kemudian satu persatu pemain
maju ke arena pertandingan. Wasit dalam kesenian Tiban disebut Landang.
Dalam kesenian Tiban pemain
bertanding satu lawan satu. Pemain saling mencambuk lawannya satu sama lain
sebanyak tiga kali secara bergantian. Jika salah satu pemain sudah merasa
tubuhnya sudah tidak kuat lagi dan mundur dari arena, maka pemain itulah yang
kalah. Pemain yang menang mendapat kehormatan dan menjadi kebanggan tersendiri.
Kesenian Tiban juga ada di daerah lain, seperti Kediri, Trenggalek, Ponorogo
dan Blitar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar